Termasuk diantara bentuk transaksi yang terlarang adalah jual beli
utang dengan utang. Diantara dasar larangan ini adalah,
Pertama, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
beliau mengatakan,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
jual beli al-Kali’ bil Kali’ (utang dengan utang).
Status Hadis
Hadis ini diriwayatkan ad-Daruquthni dalam sunannya 3105 dan
Baihaqi dalam as-Sughra dari jalur Musa bin Ubaidah ar-Rabadzi dari Abdullah
bin Dinar…
Dan Musa bin Ubaidah didhaifkan para ulama.
Imam as-Syafii mengatakan,
أهل
الحديث يوهنون هذا الحديث
“Ahli hadis menilai lemah hadis ini.” (Dinukil dari Nailul Authar,
5/254)
Imam Ahmad mengatakan,
لا
تحل الرواية عن موسى بن عبيدة عندي ولا أعرف هذا الحديث من غيره
Menurutku, tidak halal meriwayatkan dari Musa bin Ubaidah. Dan
saya tidak mengetahui hadis ini dari jalur yang lain. (Nashbur Rayah,
az-Zaila’i, 4/39).
Hadis ini juga didhaifkan al-Hafidz Ibnu Hajar (Talkhis al-Habir,
3/26), as-Syaukani (Nailul Authar, 5/254), dan yang lainnya. Kesimpulannya
hadis ini dhaif.
Kedua, ijma’ ulama
Sekalipun hadis di atas dhaif, bukan berarti jual beli utang
dengan utang dibolehkan. Karena ulama sepakat, transaksi al-Kali’ bil Kali –
jual beli utang dengan utang – hukumnnya terlarang.
Imam Malik mengatakan,
وقد
نهى عن بيع الكالئ بالكالئ
Jual beli al-Kali bil Kali’ hukumnya dilarang. (al-Muwatha’,
Riwayat Yahya al-Laitsi, 2/628)
Imam as-Syafii dalam kitabnya al-Umm pernah membahas hukum menjual
barang yang masih dalam tanggungan. Beliau mengatakan,
والمسلمون
ينهون عن بيع الدين بالدين
“Kaum muslimin dilarang untun jual beli utang dengan utang.”
(al-Umm, 4/30)
Pernyataan kesepakatan ulama,
Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir,
قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين لا يجوز. وقال أحمد : إنما هو إجماع
Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang
dengan utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah
ini.” (al-Mughni, 4/186).
As-Syaukani mengomentari sanad hadis di atas, dan adanya ijma’,
وإن كان في إسناده موسى بن عبيدة الربذي فقد شد من عضده ما يحكى من الإجماع على عدم جواز بيع الكاليء بالكاليء
Meskipun dalam sanadnya terdapat perawi bernama Musa bin Ubaidah
ar-Rabadzi, namun ada pendukung kuat dari nulikan ijma’ bahwa tidak boleh jual
beli utang dengan utang. (as-Sailul Jarar, hlm. 480)
Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa
jual beli utang dengan utang hukumnya terlarang.
Pengertian Jual Beli Utang dengan Utang
Al-Kali’ [الكالئ] secara bahasa artinya nasiah (tertuda). Dari kata kala-a ~ yakla-u [كلأ – يكلأ] yang artinya tertunda. (an-Nihayah, Ibnul Atsir, 4/194)
Dalam kitab al-Muwatha’, terdapat penjelasan tentang jual beli
al-Kali’ bil Kali
وَالْكَالِئُ
بِالْكَالِئِ أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ دَيْنًا لَهُ عَلَى رَجُلٍ بِدَيْنٍ عَلَى
رَجُلٍ آخَرَ
Jual beli al-Kali’ bil Kali adalah seseorang (si A) menjual barang
miliknya yang masih terutang kepada pembeli (si B) dengan pembayaran yang masih
terutang di tempat orang lain (si C). (Muwatha’ Malik, 2/659)
Semoga tidak membingungkan… ilustrasinya,
Mukidi pemilik konter HP. Datang Paijo hendak membeli HP merk
‘JaDe’. Saat itu Mukidi tidak punya, dan Mukidi menjanjikan barangnya akan
dipesankan ke produsennya dan akan datang sebulan lagi. Sementara Paijo minta,
nanti yang bayar adalah Marijan, karena Marijan punya utang ke Paijo.
Lalu mereka melakukan akad dan transaksi, deal harga dan berpisah.
Dalam Fatwa Lajnah Daimah no. 18535 dijelaskan bahwa jual beli
al-Kali’ bil Kali ada 2 bentuk,
[1] Menjual barang yang masih dalam tanggungan (belum ada di
tangan), dengan pembayaran yang tertunda. Seperti transaksi
[2] Jual beli salam, namun dijual kembali ke penjual sebelum
barang diserahkan
Misalnya Paimen pesan beras 1 kwintal ke Bejo seharga 200 rb dan
akan dikirim 3 bulan lagi. Paimen bayar 200rb. Sehingga Bejo punya utang untuk
menyerahkan beras 1 kwintal. Hingga waktu 3 bulan, Bejo belum bisa menyerahkan
beras 1 kwintal. Kemudian oleh mereka melakukan transaksi ulang.
Bejo mengatakan kepada Paimen:
“Saya tidak bisa menyerahkan beras 1 kwintal. Anggap saja, beras 1
kwintal itu sudah ada di kamu, lalu beras itu saya beli lagi dari kamu seharga
300rb untuk waktu pembayaran selama 2 bulan lagi.”
Kemudian mereka setuju. Akhirnya Bejo membayar 300rb dengan
dicicil selama 2 bulan ke depan.
Transaksi ini terlarang dengan sepakat ulama.
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam mengatakan,
النَّسِيئَة
بِالنَّسِيئَةِ فِي وُجُوه كَثِيرَة من البيع مِنْهَا: أَن يُسّلم الرجل إِلَيّ
الرجل مائَة دِرْهَم إِلَيّ سنة فِي كُرّ طَعَام لكُرّ فَإِذا انْقَضتْ السّنة
وَحل الطَّعَام عَلَيْهِ قَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الطَّعَام للدافع: لَيْسَ عِنْدِي
طَعَام لَكِن بِعني هَذَا الكُرَّ بِمِائَتي دِرْهَم إِلَيّ شهر
Utang dengan utang bentuk transaksinya ada banyak. Diantaranya, si
A menyerahkan 100 dirham ke si B untuk membeli 1 kwintal makanan yang
akan diserahkan tahun depan. Ketika sudah berlalu setahun, dan saatnya makanan
diserahkan, si B mengatakan kepada si A: “Saya tidak memiliki makanan. Namun
tolong jual 1 kwintal makanan itu ke saya seharga 200 dirham selama sebulan.”
(Gharib al-Hadits, 1/21)
Berdasarkan keterangan di atas, termasuk jual beli utang dengan
utang adalah jual beli barang sistem inden. Memesan barang dengan membayar DP
kepada penjual, sementara penjual sama sekali belum memiliki barang itu dan dia
bukan produsen.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
0 komentar:
Posting Komentar