Manakah yang utama, orang kaya ataukah orang miskin? Orang kaya
punya kemudahan untuk mudah bersedekah. Orang miskin pun disebutkan dalam
hadits akan masuk surga 500 tahun lebih dahulu dari orang kaya. Kaya atau
miskin yang utama?
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al
Hujurat: 13)
Ibnul Qayyim berkata,
ولم
يقل أفقركم ولا أغناكم
“Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang
paling miskin atau yang paling kaya di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2: 442)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan mengenai
keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai
manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang
miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat
memuaskan, “Yang paling afdhol (utama) di antara keduanya adalah yang paling
bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam taqwa, maka
berarti mereka sama derajatnya.” (Badai’ul Fawaidh, 3: 683).
Itu pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitab beliau Al Furqon hal. 67. Ketika diajukan pertanyaan yang sama, beliau jawab
dengan surat Al Hujurat ayat 13. Yang maksudnya bahwa yang paling mulia adalah
yang paling bertakwa, bukan kaya atau miskinnya.
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,
قِيلَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ « أَتْقَاهُمْ » . فَقَالُوا
لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَيُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ
اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ
هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونَ خِيَارُهُمْ فِى
الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا
Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, siapakah manusia yang paling mulia?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab,
“Yang paling bertakwa.”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami
tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah
(Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih
Allah (Ibrahim).”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami
tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang
tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang
paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka berilmu.” (HR.
Bukhari no. 3353 dan Muslim no. 2378).
Intinya pada takwa, bukan pada kekayaan ataupun nasab (keturunan).
Ketika Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, beliau sebutkan,
إنما
تتفاضلون عند الله بالتقوى لا بالأحساب
“Sesungguhnya seseorang dinilai mulia di sisi Allah dilihat dari
ketakwaan, bukan pada garis keturunannya yang mulia.”
Ibnu Taimiyah pernah juga menyatakan,
أن
تعليق الشرف في الدين بمجرد النسب هو حكم من أحكام الجاهلية الذين اتبعتهم عليه
الرافضة وأشباههم من أهل الجهل
“Anggapan bahwa kemuliaan dalam agama dilihat dari nasab
(keturunan) yang mulia adalah di antara sifat jahiliyyah. Sifat seperti ini
diikuti oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) dan ahlu jahiliyyah semisalnya.” (Daqoiqut Tafsir, 2: 22). Karena memang
Rafidhah terlalu berlebihan dalam mengagungkan ahlul bait (keturunan Nabi
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-).
Semoga bermanfaat.
—
0 komentar:
Posting Komentar