Muhammad
bin Sirin[1] adalah imam Ahlus sunnah yang sangat terkenal dalam berpegang
teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Akan tetapi
tahukah Anda bahwa beliau juga disifati oleh para ulama di jamannya sebagai
orang yang sangat wara’ (hati-hati dalam
masalah halal dan haram) dan tekun dalam beribadah.
Imam
adz-Dzahabi menukil dari Abu ‘Awanah Al-Yasykuri, beliau berkata, “Aku melihat
Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat beliau kecuali orang
itu akan mengingat Allah[2].”
Subhanallah,
betapa mulianya sifat imam besar ini. Betapa tekunnya beliau dalam beribadah
dan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga sewaktu berada di pasar dan sedang berjual-belipun hal tersebut tampak
pada diri beliau.
Bukankah
wajar kalau orang yang sedang beribadah di masjid kemudian orang yang
melihatnya mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Tapi seorang yang sedang berjual-beli di pasar dengan segala kesibukannya, akan
tetapi sikap dan tingkah lakunya bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang shalih selalu menyibukkan diri dengan berzikir dan beribadah
kepada-Nya dalam semua keadaan?
Benarlah
sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Wali-wali (kekasih) Allah adalah orang-orang yang jika mereka dipandang maka
akan mengingatkan kepada Allah[3].”
Teladan
kita berikutnya adalah imam Ibrahim bin Maimun Ash-Sha-igh, seorang imam Ahlus
sunnah dari generasi Atba’ut Tabi’in. Imam
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menukil dalam biografi beliau bahwa pekerjaan beliau
adalah tukang menempa logam, tetapi jika beliau telah mendengarkan seruan azan
shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tidak mampu untuk
mengayunkan palu tersebut dan beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk
melaksanakan shalat[4].
Lihatlah
betapa besar ketakutan dan pengagungan terhadap AllahSubhanahu
wa Ta’ala di dalam hati orang-orang yang bertakwa sehingga
kesibukan apapun yang mereka kerjakan sama sekali tidak melalaikan mereka dari
memenuhi panggilan untuk beribadah kepada-Nya.
Maha
benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berfirman,
{ذَلِكَ وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan (dalam) hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Beberapa
pelajaran berharga yang dapat kita petik dari dua kisah di atas:
–
Orang mukmin yang bertakwa adalah orang yang tidak disibukkan dengan urusan dan
kesibukan dunia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
inilah yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya,
{رِجَالٌ لَا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ}
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)
oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37).
Imam
Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak
disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan
berjual-beli dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada
Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah
orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan lebih
utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di
tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal
abadi[5].”
–
Tempat bekerja dan berjual-beli sangat berpotensi untuk melalaikan manusia dari
mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka menyebut dan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala di tempat-tempat tersebut
sangat besar keutamaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam
Ath-Thiibi berkata, “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di
pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang keutamaan
mereka (dalam ayat di atas)[6].”
–
Mengambil contoh teladan dari kisah-kisah para ulama salaf adalah termasuk
sebaik-baik cara untuk memotivasi diri sendiri guna meningkatkan ketakwaan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini
disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang
berupa kisah nyata, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta
bersegera dalam kebaikan[7].
Oleh
karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam,
{وَكُلا نَقُصُّ
عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي
هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Huud: 120).
Imam
Abu Hanifah pernah berkata, “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di
majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih,
karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk
diteladani)[8].”
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota
Kendari, 1 Rabi’ul akhir 1432 H.
[1]
Beliau adalah Imam besar dari generasi Tabi’in, sangat terpercaya dan teliti
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam (wafat
110 H.), Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (25/344)
dan Siyaru A’laamin Nubala’ (4/606).
[2] Kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/610).
[3] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan.
[4] Lihat kitab Tahdziibut Tahdziib (1/150).
[5] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, (3/390).
[6] Dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, (9/273).
[7] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[8] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitabJaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
[2] Kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/610).
[3] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan.
[4] Lihat kitab Tahdziibut Tahdziib (1/150).
[5] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, (3/390).
[6] Dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, (9/273).
[7] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[8] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitabJaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
0 komentar:
Posting Komentar