HANYA ADA SATU KEBENARAN (MENCARI KEBENARAN DALAM MASALAH
KHILAFIYAH YANG KONTRADIKTIF)
Oleh
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Permasalahan ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim,
lebih-lebih mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini
memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh ulama salaf, tetapi menjadi asing
di masa sekarang ini.
Kaidah itu berbunyi : Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku
dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh ulama ahlus sunnah
wal jama’ah.
Diharapkan risalah ini dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk
kepada kebenaran dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap taklid
buta serta tidak tabu untuk membicarakan masalah khilafiyah. Kedua diharapkan
dari risalah ini agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai
pendapat yang berbeda selama perbedaan ini dalam hal ijtihadiyah bukan
perbedaan aqidah atau yang bersifat prinsip. Agar kita toleran dengan
saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat berbeda selama kita semua tidak
mengikuti hawa nafsu dan sudah optimal berusaha untuk mencapai kepada
kebenaran.
PERMASALAHAN IKHTILAF/ KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.
Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di
dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyari’atkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyari’atkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.
2. Dua lafadz yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau
mendekati. Contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama
dengan nasikah. Kata “qadla”dalam firman Allah:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia “ [al-Isra/17 : 23]
Ibnu Abbas berkata “qadla” berarti “ memerintahkan “, Mujahid
mengatakan “ mewasiatkan “, Rabi bin Anas mengatakan “ mewajibkan “. Kata-kata
“ memerintahkan “, “mewasiatkan“ dan “mewajibkan” mempunyai makna yang hampir
sama.
3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling
menafikan bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata
“ an na’iim “ dalam firman Allah :
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” [at-Takatsur/102 : 8]
Sebagian ahli tafsir mengatakan “ an na’iim “ bermakna keamanan,
kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya
syari’at dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.
Untuk ikhtilaf tanawwu’, tidak boleh seseorang menyalahkan salah
satunya. Syaikhul Islam mengatakan, “ Hanya kejahilan dan kezhaliman yang
menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih mengutamakan salah
satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya. [1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
[al-Ahzab/33 : 72]
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita berselisih dan mencela
perselisihan dalam ayat-ayatNya diantaranya :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [al-Anfal/8
: 46]
Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam amat membenci
perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang
berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga mereka
kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran.
Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah
syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan
hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka.
kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.
[Hud/11 : 118-119]
Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang
sudah dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di
antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang
dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk
mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha menghilangkan kebodohan dari
masyarakat kita berupa ta’ashub atau fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok)
ataupun madzhab, juga kultus individu ? Ataukah kita pura-pura bodoh akan
kebenaran yang ada di depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa
nafsu atau berdalih dengan ucapan, ” Kebenaran itu banyak !”
IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau ijma’ para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau ijma’ para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda : ” Apabila
seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka
baginya dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian
salah, maka baginya satu pahala.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang
berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa
kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan
kepadanya. Allah tidak akan menghulumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman
itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan
setelah tegak hujjah kepadanya [2]. Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti
apabila kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah[3]. Karena kita
dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, ” Tidak boleh bagi
seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan,
karena sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma’ serta dalil yang diambil
istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil
syari’at, bukan dengan sebagian ucapan ulama. Karena sesungguhnya ucapan para
ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan adanya dalil-dalil syari’at. Ucapan
para ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syari’at.[4]
Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para
ulama [5] meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau di antara ijtihad mereka
ada yang kita yakini sebagai perbuatan bid’ah (setelah diadakan penelitian
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu ushul).
Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bid’ah kecuali setelah jelas
bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan mereka tetap megikuti
hawa nafsunya.
Syaikh Ali Hasan berkata, ”Sedangkan orang yang melakukan
bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid -sebagaimana telah dibicarakan-, maka
orang yang berijtihad seperti ini, meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai ahli
bid’ah. Sebaliknya bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan
ahli bid’ah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap berdosa dikarenakan
kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah
menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang
yang melakukan bid’ah untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang
yang terus menerus melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena
mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan
tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya
dan pengingkarannya. [6]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu [7] dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ”
[an-Nisa/4 : 115]
KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.
Ibnul Qasim berkata, ”Saya telah mendengar dari Malik dan Laits
tentang perselisihan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang, ’Dalam perselisihan tersebut terdapat
kelapangan.’ Tidak demikian yang ada adalah salah dan benar. [8]
Asyhab ,mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang orang yang
mengambil sebuah hadist dari seorang yang tsiqat (terpercaya) dan orang itu
mendapatkannya dari sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ” Apakah
engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat kelapangan ?” Imam Malik
menjawab, ” Tidak demi Allah, sampai ia mendapatkan bahwa kebenaran itu satu.
Adakah dua perkataan yang bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar
itu hanya ada satu.” [9]
Imam Al Muzani, sahabat Imam Syafi’i berkata : Para sahabat
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka
menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan di antara
mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka berpendapat semua perkataan
mereka itu benar, tentu mereka tidak akan melakukan demikian. Pernah Umar bin
Khathab marah karena terjadi perselisihan antara Ubay bin Ka’ab dengan Ibnu
Mas’ud mengenai hukum salat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat
dengan satu pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Mas’ud megatakan bahwa
hal itu dilakukan karena sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan marah dan
berkata, ”Dua orang sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah
berselisih, yaitu diantara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil
pendapat beliau. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak kurang (berusaha). Akan
tetapi aku tidak mau mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang
hal itu. Jika masih ada tentu aku akan melakukan ini dan itu.” [10]
Imam Al Muzani mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang
yang membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang alim yang
berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka menyatakan halal
dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa ijtihad keduanya benar
semua, ” Apakah engkau mengatakan ini dengan dasar ushul (pokok) atau qiyas ?”
Apabila ia mengatakan dengan dasar pokok, maka katakanlah kepadanya, ”
Bagaimana mungkin dengan dasar pokok padahal Al-Qur’an menolak perselisihan ?”
Dan apabila ia mengatakan dengan dasar qiyas, maka katakanlah, ” Meangapa
engkau membolehkan padahal pokok telah menolak perselisihan.” Hal ini tidak
bisa diterima oleh orang yang berakal, lebih-lebih seorang alim. ” [11]
Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : Sekiranya kebenaran itu
terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang
salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan dan fatwa-fatwa mereka.
Dan pemikiran juga enggan menerima ada satu pendapat dan pendapat lain yang
bertentangan dikatakan benar seluruhnya. Tepatlah apa yang dikatakan di dalam
syair :
“Penetapan dua hal yang bertentangan secara bersamaan dalam satu
hal Adalah seburuk-buruk kemustahilan yang datang”.[12]
Syaikh Ali Hasan berkata, ”Maka perbedaan pendapat dalam perkara
apapun, apakah dia itu sunnah atau bid’ah, mungkar atau bukan, tidaklah
menjadikan seorang juru dakwah untuk diam dari menyampaikan kebenaran. Yaitu
dengan mengenal bid’ah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan
sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di dalamnya. Apabila setelah pembahasan,
penelitian, dan pengkajian yang mendalam diperoleh hasil bahwa hal itu adalah
bid’ah, maka wajib untuk menamapakkan kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat
orang yang menyalahinya. [13]
Syaikh Ali Hasan menukil pula ucapan Imam Al-Khathabi dalam
bukunya A’lamus Sunan bi Syarh Shahih Al Bukhary juz 3/2091-2092, ” Seorang
berkata, ’Sesungguhnya manusia ketika mereka berbeda pendapat dalam hal
minuman, mereka bersepakat atas haramnya khamr dan anggur dan berbeda pendapat
menegenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa yang mereka sepakati tentang
haramnya dan membolehkan apa-apa yang selainnya (yang masih diperselisihkan,
pent.).’ Hal ini merupakan kesalahan fatal, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memerintahkan ornag –orang yang berselisih agar mereka mengembalikan
kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [an Nisa/4 : 59]
Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khathabi
dalam bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian beliau mengomentarinya, ”Orang yang
berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat yang sesuai (
dengan dirinya ) sebagai hujjah. Dia telah mengambil pendapat tadi sebagai
jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan menuju taqwanya. Yang demikian
itu jauh sekali untuk dikatakan melaksanakan perintah Allah dan lebih tepat
untuk dikatakan sebagai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
ilahnya.”[14]
BEBERAPA ALASAN DAN JAWABANNYA
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah ” kebenaran itu satu ”.
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah ” kebenaran itu satu ”.
Alasan Pertama : Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Rahmat.
Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Jawabannya : Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau
telah bersabda : ” Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka
hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka.[15]
Seorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama
Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadist, dengan mencari
keterangan terlebih dahulu dari ulama hadist. Apabila ulama hadist pun berbeda
pendapat tentang ke-shahih-an suatu hadist, maka ia berusaha sesuai dengan kemampunnya
untuk meneliti dan memilih mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat,
bukan memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para
ulama hadist telah sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadist maka kita
harus mengikuti kesepakatan mereka.
Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Ahadist Adl Dla’ifah mengenai hadist :
“Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat.”
Hadist ini tidak ada asalnya. Para muhaddist sudah berusaha
keras untuk mendapatkan sanad hadist ini tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Sampai beliau berkata, ” Al Munawi menukil dari as Subki bahwa ia berkata,
’Hadist ini tidak dikenal oleh para muhaddist dan saya belum mendapatkan baik
dalam sanad shahih, dla’if atau maudlu. ’ Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui
dalam ta’liq atas tafsir Al Baidawi 2/92/Qaaf (masih dalam manuskrip, pent.)”
Makna hadist ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al
Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V hal.
64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya ucapan itu bukan hadist, ”ini
adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu
kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan
demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. ”
Di tempat lain beliau mengatakan, ” Batil atau Dusta. ”
Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadist ini
bahwa banyak dari kaum muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam
di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali
kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagaimana hal ini telah
diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan
mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab imam radliallahu anhum tersebut
sebagai syari’at-syari’at yang bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian,
padahal mereka tahu bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin
dipadukan kecuali dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan
menerima yang lain sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan!
Dengan ini mereka telah menisbatkan kepada syari’at akan adanya kontradiksi.
Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala apabila mereka memperhatikan firman Allah :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya
Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya” [an Nisa/4 : 82]
Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan
dari Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syari’at yang
diikuti atau rahmat yang turun.
Disebabkan hadist (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya,
kebanyakan kaum muslimin setelah imam yang empat terus menerus sampai hari ini
bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah maupun muamalah.
Seandainya mereka menganggap bahwa pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan
Ibnu Mas’ud [16] dan selainnya radliallahu anhum dan begitu juga banyak
terdapat dalam Al Qur’an dan hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam
yang menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu – tentu mereka akan bersegera
untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam banyak permasalahan
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang
batil. Setelah itu baru bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam
hal-hal yang masih diperselisihkan. ( maksudnya : setelah berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat mana
yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang
sebagian mereka lontarkan secara mutlak, ’kami bekerjasama dalam hal yang kami
sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kami perselisihkan.” Maka ini
adalah kesalahan yang nyata sekali. [17]
Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka
berpendapat ”ikhtilaf itu rahmat” dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai
syari’at yang bermacam-macam ? dan kesimpulannya: Sesungguhnya ikhtilaf itu
tercela dalam syari’at. Maka wajib berusaha untuk menuntaskan darinya sebisa
mungkin, dikarenakan pertentangan itu merupakan salah satu sebab kelemahan
ummat. Allah berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [al
Anfal/8 : 46]
Sedangkan sikap ridha dengan pertentangan dan menamakannya
sebagai ”rahmah”, maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas
mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadist yang tidak ada asalnya
dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Sampai disini mungkin ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi
pertentangan di antara para sahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia,
apakah celaan di atas mengenai mereka? Ibnu Hazm rahimahullah menjawabnya dalam
Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68, ia berkata : Sama sekali tidak. Celaan
di atas tidaklah mengenai sahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang
keras mencari jalan Allah dan pendapat yang benar. Maka jika di antara mereka
ada yang salah, mereka mendapat satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam
menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena
mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari
kebenaran. Sedangkan yang benar diantara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu
pula untuk setiap muslim sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui
dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil ).
Celaan dan ancaman tesebut, sebagaimana tertuang dalam nash,
berlaku atas orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah -Al
Qur’an dan As Sunnah- setelah datang nash kepadanya dan setelah tegak hujjah
atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan dan fulan,
taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan kebanggaan
jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam pengakuannya untuk
selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih
dengan keinginannya saja. Tetapi jika berselisih (antara nafsu dan nash), maka
ia bergantung pada kejahilannya, meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Mereka itulah orang-orangyang selalu berselisih
dan orang-orang yang tercela.
Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai iman yang tipis
dan kurang ketaqwaannya. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu
mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah (keringanan) dalam
ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan
oleh nash-nash dari Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang
dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil,
melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat
tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram disebabkan beberapa alasan
tertentu. Namun disini bukan tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.
Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadist
yang tidak ada asalnya ini dan dengan alasan hadist ini pula seorang berkata. ”
Barang siapa bertaqlid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan
selamat.”
Semua ini merupakan sebagian dampak buruk dari hadist-hadist
dla’if (termasuk di dalamnya hadist maudlu’, pent.) [18]. Maka berjhati-hatilah
darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan, Allah berfirman dalam surat
Asy Syu’aara 88-89 :
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih”.
Syaikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifat Shalat
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengenai perbedaan pendapat para sahabat
dengan ikhtilaf di kalangan para sahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin
(orang-orang yang taqlid), dia berkata : Para sahabat berbeda pendapat sebagai
suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya
ketika mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat
dan tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu
bisa dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka
menyetujui adanya perbedaan. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini
dari segi sebab.
Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para sahabat berbeda pendapat
dalam masalah-masalah furu’ tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat
jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan dan memporak-porandakan
barisan. Umpamanya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah
disyari’atkan dengan jahr (dikeraskan) dan yang lainnya berpendapat tidak jahr.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita
membatalkan wudlu’, sebagian yang lain berpendapat tidak membatalkan wudlu’.
Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam yang satu. Tidak seorang
pun di antara mereka menolak shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan
madzhab.[19]
Alasan Kedua : Perbuatan Atau Ucapan Seorang Sahabat Adalah
Hujjah.
Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadist-hadist maudlu’.
Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadist-hadist maudlu’.
Berikut ini adalah dalil yang mereka kemukakan, setelah itu saya
nukilkan komentar ulama sebagai penjelasan atas dalil tersebut.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Aku wasiatkan
kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang
memerintahkan kalian ) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya
siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia akan menjumpai
perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan
sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah
kalian dengannya, gigitlah dengan gigi geraham atas sunnah tersebut..” [20]
Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata (Dar’ul Irtiyab hal.7) :
“Ketahuilah saudara-saudaraku seiman, semoga Allah membimbingmu kepada
kebenaran, bahwasanya ’athaf (kata penyambung ”dan” dalam sabdanya, ” Haruslah
kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin, pent.) tidaklah
berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Melainkan mereka senantiasa mengikuti
sunnah beliau Shallallahu alaihi wasallam dalam setiap jejak langkahnya. Oleh
karena itu mereka dijuluki sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan
bimbingan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menisbahkan sunnah kepada
mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang
memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari ulama-ulama
rabbani yang dirahmati ini, di antaranya adalah:[21]
1. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi
Ushulil Ahkam juz 6 hal 76-78.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa juz 1 hal. 282.
3. Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4. Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahullah berkata demikian.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa juz 1 hal. 282.
3. Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4. Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahullah berkata demikian.
Berkenaan dengan masalah ini ada hadist maudlu’ yang berbunyi:
“Sahabat-sahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di
antara mereka, kalian mesti mendapat hidayah”.
Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah
Hadist Ad Dha’ifah wal Maudu’ah juz 1 no. 58 dari halaman 144-145 : Hadist ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm
dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab maudlu’-nya
hadist ini, pent.). Sedangkan orang yang men-shahih-kan hadist ini bersandar
dengan ucapan As Sya’rani dalam Al Mizan 1/28, ” Hadist ini meskipun ada
pembicaraan (kelemahan) menurut para muhaddist, tetapi hadist ini shahih
menurut ahli kasyf.” Ucapan ini bathil dan sepantasnya tidak ditengok, karena
cara men-shahih-kan hadist dengan jalan al kasyf adalah bid’ah sufi yang amat
dibenci.
Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu
seandainya dibolehkan itupun sebatas sebagai pendapat yang bisa salah dan bisa
benar, belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga banyak hadist-hadist
palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih menurut keinginan hawa nafsu
mereka.
Adapun hadist-hadist maudlu’ yang semakna dengan hadist di atas
terdapat dalam Silsilah Dla’ifah juz 1 no. 59-62 dan penjelasannya dari halaman
146-153.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan
tentang kaidah ” ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah ” dalam Majmu’
Fatawa.
Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat
sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga
menjelaskan bahwa ’ucapan seorang yang sahabat sebagai hujjah” dapat berlaku
apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :
Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan
tersebut.
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [22]
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [22]
Alasan Ketiga : Apa Yang Dinisbahkan Kepada Imam Malik Yang
Berkata, “Masing-masing mereka adalah benar”.
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, “Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu, tidak berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa (1/89), Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwaththa’ sebagai undang-undang peradilan bagi Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata,’Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar.”
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, “Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu, tidak berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa (1/89), Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwaththa’ sebagai undang-undang peradilan bagi Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata,’Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar.”
Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan
masyhur dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi,
” Masing-masing mereka adalah benar, ” tidak saya ketahui asalnya berdasarkan
penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang saya dapatkan [23].
Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332
dengan isnad yang terdapat didalamnya Al Miqdam bin Daud. Ia adalah salah
seorang yang disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam kitabnya Ad Dlu’afa. Itu pun
dengan lafazh, ” Dan masing–masing menurut dirinya adalah benar. ” Ini
menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami
perubahan lafazh.
Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang
diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpercaya) dari Imam Malik bahwa
kebenaran itu satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Hal ini juga dipegang oleh setiap Imam dari para sahabat, tabi’in serta
imam-imam mujtahid yang empat dan yang lainnya.[24]
PENUTUP.
Setelah kita membaca penjelasan mengenai kaidah ” kebenaran itu hanya satu “Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut?”
Setelah kita membaca penjelasan mengenai kaidah ” kebenaran itu hanya satu “Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut?”
Jawabannya secara ringkas adalah :
Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.
Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.
Kedua : Ilmu yang benar.
Imam Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H) berkata [25] ” Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu merupakan bisikan syaithan. ”
Imam Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H) berkata [25] ” Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu merupakan bisikan syaithan. ”
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab I’lamul
Muwaqqi’in, ’ Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam dan Ucapan para sahabat.”
Imam Al Auzai rahimahullah (wafat 158H) berkata : ” Haruslah
engkau mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan
hati-hatilah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka
menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu.[26]. Syaikh Ali Hasan
mengatakan, ” Dengan sanad yang shahih” [27]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, ”
Maka yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat, yaitu
engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau sebutkan yang benar
dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau sebutkan faedah khilaf dan buahnya
agar perselisihan dan perbedaan pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal
yang tidak bermanfaat, sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan
terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan
orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah padahal ia
belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka hal itu kurang, karena
boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah pendapat yang benar. Atau
seseorang yang hanya menceritakan perbedaan pendapat yang ada, kemudian
dibiarkannya saja tanpa menyebutkan mana yang benar, maka hal itu pun kurang.
Begitu pula orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti
ia telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu karena
kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan.[28]
Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan
ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama. Imam Syafi’i
rahimahullah berkata : “Saudaraku, engkau akan tidak memperoleh ilmu kecuali
memiliki enam perkara. Saya akan beritahu kepadamu keenamnya dengan jelas,
yaitu : kecerdasan, perhatian, kesungguhan dan kecukupan (materi) dan
didampingi oleh guru sera menempuh waktu yang lama”.
Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya.
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya)”. [an Nazi’at/79 : 40-41]
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar
dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami
bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam , keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Maraji’
1. Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Diwan Al Imam Asy Syafi’i, Asy Syafi’i
3. Dar’ul Irtiyab’an Hadist Ma Ana ’Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied AL Hilali.
4. Fathul Bari, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqalani.
5. Ilmu Ushulil Bida’ , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Hallabi Al Atsari
6. Adtidla’ As Sirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.
7. Irwa’ul Ghalil , Syeikh Al Albani
8. Jami Bayanil Ilmi wa Fadl-lih, Al Imam Ibnu Abdil Bar.
9. Majmu’ Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10. Shahih AL Bukhari
11. Shifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Syaikh Al Albani.
12. Silsilah Al Hadits Ad Dla’ifah wal Maudlu’ah, Syaikh Al Alabni
13. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir
1. Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Diwan Al Imam Asy Syafi’i, Asy Syafi’i
3. Dar’ul Irtiyab’an Hadist Ma Ana ’Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied AL Hilali.
4. Fathul Bari, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqalani.
5. Ilmu Ushulil Bida’ , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Hallabi Al Atsari
6. Adtidla’ As Sirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.
7. Irwa’ul Ghalil , Syeikh Al Albani
8. Jami Bayanil Ilmi wa Fadl-lih, Al Imam Ibnu Abdil Bar.
9. Majmu’ Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10. Shahih AL Bukhari
11. Shifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Syaikh Al Albani.
12. Silsilah Al Hadits Ad Dla’ifah wal Maudlu’ah, Syaikh Al Alabni
13. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir
[Disalin dari buku Hanya Ada SATU KEBENARAN (Mencari Kebenaran
Dalam Masalah Khilafiyah Yang Kontradiktif), Cetakan I – Th.1424 H/ 2003 M.
Penulis : Fariq Qasim Anuz, Penerbit : Darul Qolam Jakarta. Komp. DepKes. Jln.
Rawa Bambu Raya No. A2 Pasar Minggu, Jakarta 12520, Telp. : ( 021 ) 78841426]
_______
Footnote
[1]. Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’
[2]. Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227
[3]. Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268
[4]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[5]. Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[6]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210
[7]. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
[8]. Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[9]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[10]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 62
[11]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi hal 62
[12]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 63
[13]. Ilmu Ushulil Bida’, hal 192
[14]. Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194
[15]. Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275
[16]. HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih
[17]. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’
[18]. Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani
[19]. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65
[20]. HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455
[21]. Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25
[22]. Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284
[23]. Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.
[24]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[25]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[26]. Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7
[27]. Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277
[28]. Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5
_______
Footnote
[1]. Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’
[2]. Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227
[3]. Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268
[4]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[5]. Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[6]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210
[7]. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
[8]. Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[9]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[10]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 62
[11]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi hal 62
[12]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 63
[13]. Ilmu Ushulil Bida’, hal 192
[14]. Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194
[15]. Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275
[16]. HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih
[17]. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’
[18]. Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani
[19]. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65
[20]. HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455
[21]. Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25
[22]. Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284
[23]. Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.
[24]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[25]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[26]. Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7
[27]. Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277
[28]. Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5
rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar