Kamis, 26 Januari 2017

Ayat-ayat Riba

Bagian dari kesempurnaan rahmat-Nya, Allah turunkan ayat tentang haramnya riba secara bertahap. Tidak menutup kemungkinan ada penggalan sejarah yang melatarbelakanginya. Bagaimana peristiwa sebenarnya?

Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA
Andaikan ada berita tentang seorang anak memperkosa ibu kandung sendiri, penulis yakin gelombang kutukan terhadap pelakunya tak bakal kuasa dibendung! Dipastikan tidak ada satu pun pendukung perilaku munkarnya!
Namun bagaimana halnya dengan bank, yang dilakukan melalui iklan, menawarkan pinjaman berbunga lunak? Akankah ada pengingkaran terhadap praktek ribawi yang dilakukannya? Ataukah justru dianggap lazim, atau jangan-jangan malah menuai pujian lantaran lunaknya bunga yang bank tawarkan? Sebaliknya, seorang ustad yang mengingatkan umat akan bahaya berhubungan dengan bank dalam transaksi seperti itu, akankah ia dicap orang kaku, keras, saklek dan segudang stigma negatif lain?
Begitulah realitas ketidaksadaran umat Islam akan bahaya riba. Padahal menurut Islam, berzina dengan ibu kandung dan memakan riba dosanya selevel! Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Riba ada tujuh puluh tiga tingkatan. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya” (HR. Hakim dan disahihkan Al-Albani).
Periodisasi Pengharaman Riba[1]
Soal riba, tidaklah Allah mengharamkannya sekaligus, melainkan melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar.
Pembahasan ini bukan untuk mengubah hukum riba. Sebab riba sudah jelas haram berdasarkan Al-Quran, Sunnah maupun ijma ulama. Pembahasan ini untuk menjelaskan sejarah turunnya ayat-ayat tentang riba. Juga mengenalkan besarnya hikmah dan kasih sayang Allah yang mempertimbangkan kondisi psikologis hamba-Nya dan tingkat kesiapan mereka untuk menerima hukum. Tidak kalah pentingnya juga sebagai pembelajaran berbarai sisi argumen mengenai pengharaman riba dalam Al-Quran.
Tahap pertama, mematahkan paradigma manusia bahwa riba bisa melipat-gandakan harta.
Pada tahap ini, Allah Ta’ala hanya menjelaskan bahwa cara mengembangkan uang melalui transaksi riba sesungguhnya sama sekali tidak dapat menambah harta di mata Allah Ta’ala. Bahkan tindakan ini secara makro berakibat pada ketidakseimbang sistem perekonomian, yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan manusia sendiri.
Membantah paradigma itu, Allah menggambarkannya dalam Surat Ar-Rum, yang artinya: “Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Ar-Rum: 39).
Tahap kedua, pemberitahuan bahwa riba juga diharamkan untuk umat terdahulu.
Allah Ta’ala menginformasikan, karena buruknya sistem ribawi, umat terdahulu juga telah dilarang melakukannya. Bahkan mereka yang tetap bersikeras memakan riba, Allah mengkategorikannya sebagai orang-orang kafir dan mengancamnya dengan azab yang pedih. Ayat ini juga mengisyaratkan kemungkinan akan diharamkannya riba bagi umat Islam, sebagaimana telah diharamkan atas umat sebelumnya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih” (QS. An-Nisa : 160-161).
Tahap ketiga, gambaran bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda.
Pada tahapan ketiga, Allah Ta’ala menerangkan bahwa riba mengakibat kezaliman yang berlipat ganda. Di antara bentuknya: si pemberi pinjaman (kreditur) membebani debitur dengan bunga sebagai kompensasi tenggang waktu pembayaran utang. Bunga terus bertambah, sehingga debitur semakin sengsara, karena terbebani utang yang semakin berlipat ganda.[2]
Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran :130).
Salah satu yang perlu digarisbawahi, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh As-Syaukani dalam Tafsirnya, bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda. Sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang. Pemahaman seperti ini keliru dan tidak dimaksudkan dalam ayat ini.
Tahap keempat, pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahap terakhir dari rangkaian periodisasi pengharaman riba. Pada tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala menegaskan, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) bila kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan)” (QS. Al-Baqarah : 278-279).
Setalah membaca penjelasan di atas, kita perlu membedakan antara proses penurunan syariat dengan proses penyampaian syariat. Proses penurunan syariat adalah murni hak Allah. Dia-lah satu-satunya Dzat yang menjadi sumber syariat. Karena itu, semuanya tergantung kehendak Allah. Hamba sama sekali tidak memiliki hak mengatur atau ikut campur. Syariat pelarangan sesuatu terkadang Allah turunkan langsung dan ada juga yang diturukan secara bertahap. Semua ini kembali kepada kehendak Allah.
Sedangkan proses penyampaian syariat merupakan tugas para nabi dan semua pengikutnya. Pada penyampaian larangan syariat, seorang Muslim tidak boleh menggunakan prinsip bertahap. Akan tetapi harus menyampaikan hukum terakhir yang Allah turunkan. Terkait kasus larangan riba, seorang dai tidak boleh menyampaikan larangan ini secara bertahap, mengikuti tahapan pelarangan riba di atas. Karena jika demikian, berarti dia telah meninggalkan hukum Allah yang melarang makan riba secara mutlak. Karena tugas seorang Muslim adalah menyampaikan hukum Allah, bukan menurunkan hukum Allah.
Allahu a’lam.**
resume:
Segala Riba, Haram!
·         Dosa riba paling ringan selevel dosa seseorang yang menzinai ibunya.
·         Allah mengharamkan riba secara bertahap. Tujuannya: (1) Menunjukkan kasih sayang Allah, yang mempertimbangkan kondisi psikologis hamba-Nya dalam menerima larangan syariat; (2) Menunjukkan hikmah (kebijaksanaan) Allah terkait dengan hukum syariat; (3) Membantah berbagai anggapan yang tersebar di masyarakat terkait masalah riba; dan (4) Menjelaskan argumen yang kuat dalam mengharamkan riba.
·         Empat tahapan pelarangan riba:
                Tahap I: Mematahkan paradigma umat bahwa riba bisa melipatgandakan harta.
                Tahap II: Pemberitahuan bahwa riba juga diharamkan bagi umat terdahulu.
                Tahap III: Gambaran bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda.
                Tahap IV: Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
·         Penyampaikan larangan riba tidak boleh dilakukan secara bertahap. Harus disampaikan hukum yang terakhir yang Allah turunkan.
Keterangan:
[1]              At-Tadarruj fî Tahrîm ar-Ribâ dalam http://www.hablullah.com/?p=1133 dan Bahaya Riba makalah Rikza Maulan, Lc., M.Ag sebagaimana dalam http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/bahaya-riba.htm, dengan berbagai tambahan dan perubahan.
[2]              Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).

Rezeki kita sudah diatur dan sudah ditentukan. Kita tetap berikhtiar. Namun tetap ketentuan rezeki kita sudah ada yang mengatur. So, tak perlu khawatir akan rezeki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin) adalah qalam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.” (HR. Tirmidzi no. 2155. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnul Qayyim berkata,
“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.
Renungkanlah keadaan janin, makanan datang kepadanya, berupa darah dari satu jalan, yaitu pusar.
Lalu ketika dia keluar dari perut ibunya dan terputus jalan rezeki itu, Allah membuka untuknya DUA JALAN REZEKI yang lain [yakni dua puting susu ibunya], dan Allah mengalirkan untuknya di dua jalan itu; rezeki yang lebih baik dan lebih lezat dari rezeki yang pertama, itulah rezeki susu murni yang lezat.
Lalu ketika masa menyusui habis, dan terputus dua jalan rezeki itu dengan sapihan, Allah membuka EMPAT JALAN REZEKI lain yang lebih sempurna dari yang sebelumnya; yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan = dari hewan dan tumbuhan. Dan dua minuman = dari air dan susu serta segala manfaat dan kelezatan yang ditambahkan kepadanya.
Lalu ketika dia meninggal, terputuslah empat jalan rezeki ini, Namun Allah –Ta’ala- membuka baginya -jika dia hamba yang beruntung- DELAPAN JALAN REZEKI, itulah pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk surga dari mana saja dia kehendaki.
Dan begitulah Allah Ta’ala, Dia tidak menghalangi hamba-Nya untuk mendapatkan sesuatu, kecuali Dia berikan sesuatu yang lebih afdhol dan lebih bermanfaat baginya. Dan itu tidak diberikan kepada selain orang mukmin, karenanya Dia menghalanginya dari bagian yang rendahan dan murah, dan Dia tidak rela hal tersebut untuknya, untuk memberinya bagian yang mulia dan berharga.” (Al Fawaid, hal. 94, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahqiq: Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Masihkah kita khawatir dengan rezeki?
Ingatlah, rezeki selain sudah diatur, juga sudah dibagi dengan adil.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Selesai disusun di Panggang, GK, 26 Rabi’ul Akhir 1436 H
Artikel Rumaysho.Com

Bagaimana cara meruqyah diri sendiri, mohon penjelasannya. Terima kasih ustaz…

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ruqyah termasuk bagian dari doa. Hanya saja, umumnya dalam bentuk memohon perlindungan dari gangguan sesuatu yang tidak diinginkan. Baik penyakit batin atau fisik.
Ibnul Atsir mengatakan,
والرقية : العوذة التي يرقى بها صاحب الآفة كالحمى والصرع وغير ذلك من الآفات
Ruqyah adalah doa memohon perlindungan, yang dibacakan untuk orang yang sedang sakit, seperti demam, kerasukan, atau penyakit lainnya. (an-Nihayah fi Gharib al-Atsar, 2/254)
Karena itu, kalimat yang dibaca dalam ruqyah sifatnya khusus. Sementara doa lebih umum, mencakup semua bentuk permohonan.
al-Qarrafi mengatakan,
والرقى ألفاظ خاصة يحدث عندها الشفاء من الأسقام و الأدواء والأسباب المهلكة
Ruqyah adalah lafadz khusus yang diucapkan dengan niat mengucapkannya untuk kesembuhan dari penyakit, dan segala sebab yang merusak. (Aunul Ma’bud, 10/264)
Karena itu, prinsip dari ruqyah adalah membaca ayat al-Quran atau doa-doa dari hadis, dengan niat untuk melindungi diri dari penyakit dalam diri kita, baik fisik maupun non fisik. Di sinilah kita bisa membedakan antara ruqyah dengan membaca al-Quran biasa. Bacaan al-Quran bisa menjadi ruqyah, jika diniatkan untuk ruyah.
Dan kondisi hati sangat menentukan kekuatan ruqyah. Semakin tinggi tawakkal seseorang ketika meruyah, semakin besar peluang untuk dikabulkan oleh Allah. Karena itu, sebelum melakukan ruqyah, orang perlu menyiapkan suasana hati yang baik. Tanamkan tawakkal kepada Allah, dan perbesar husnudzan (berbaik sangka) bahwa Allah akan menyembuhkannya.
Apa yang bisa dilakukan?
Ada beberapa adab yang bisa anda lakukan ketika hendak meruqyah,
[1] Berwudhu terlebih dahulu, karena ketika membaca kalimat thayibah, dianjurkan dalam keadaan suci.
[2] Baca ayat al-Quran yang sering digunakan untuk ruqyah, dengan niat ruqyah. Seperti ayat kursi, dua ayat terakhir surat al-Baqarah, atau surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, atau ayat lainnya.
[3] Bisa juga dengan menggunakan doa yang pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] Bisa juga dengan mengusapkan tangan ke anggota tubuh yang bisa dijangkau, atau ke anggota tubuh yang sakit.
[5] Atau menggunakan media air. Caranya, kita membaca ayat-ayat ruqyah dengan mendekatkan segelas air bersih di mulut. Selesai baca, air diminum.
[6] Selanjutnya, tawakkal kepada Allah.
Beberapa Praktek Ruqyah diri Sendiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita beberapa doa dan ruqyah yang bisa kita baca ketika sakit. Diantaranya,
Pertama, doa ketika ada bagian anggota tubuh yang sakit.
Caranya,
[1] Letakkan tangan di bagian tubuh yang sakit
[2] Baca “bismillah” 3 kali
[3] Lanjutkan dengan membaca doa berikut 7 kali,
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
(A’uudzu bi ‘izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru )
“Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.”
Dalilnya:
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mengadukan rasa sakit di badannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam..  Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya,  “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu,”  lalu beliau ajarkan doa di atas. (HR. Muslim 5867 dan Ibnu Hibban 2964)
Kedua, ruqyah sebelum tidur
Gabungkan dua telapak tangan, lalu dibacakan surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, lalu tiupkan ke kedua telapak tangan. Kemudian usapkan kedua telapak tangan itu ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau. Dimulai dari kepala, wajah dan tubuh bagian depan.
Kemudian diulang sampai tiga kali.
Ini berdasarkan hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, yang menceritakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelulm tidur. (HR. Bukhari 5017 dan Muslim 2192).
Ketiga, ruqyah ketika terluka
Ambil ludah di ujung jari, kemudian letakkan di tanah, selanjutnya letakkan campuran ludah dan tanah ini di bagian yang luka, sambil membaca,
بِسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا يُشْفَى سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا
(Bismillah, turbatu ardhinaa bi riiqati ba’dhinaa, yusyfaa saqimuna bi idzni rabbinaa..)
“Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami.” (HR. Bukhari 5745 & Muslim 5848).
Mencegah Lebih Baik dari Pada Mengobati
Teori ini berlaku umum, baik dalam ilmu medis konvensional maupun ilmu medis nabawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mengajarkan kepada umatnya untuk lebih banyak berdzikir, merutinkan dzikir dalam setiap keadaan, terutama setiap pagi dan sore.
Banyak diantara doa dan dzikir pagi-sore yang dijadikan sebab untuk mendapat penjagaan dari Allah dari setiap gangguan makhluk yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Karena itulah, di dua waktu ini, Allah memotivasi kita untuk kita untuk memperbanyak berdzikir,
Allah perintahkan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu istighfar dan banyak berdzikir setiap pagi dan sore,
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
“Mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. Ghafir: 55).
Allah perintahkan Nabi Zakariya untuk rutin berdzikir setiap pagi dan sore,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
“Perbanyaklah berdzikir menyebut nama Rabmu, dan sucikan Dia setiap sore dan pagi.” (QS. Ali Imran: 41).
Allah juga memuji orang yang rajin dzikir dan berdoa setiap pagi dan petang,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya…” (QS. al-Kahfi: 28).
Selengkapnya bisa anda pelajari di:
dan
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bolehkah wakaf objek yang masih sengketa?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Objek sengketa dalam wakaf bisa kita bagi menjadi 2:
Pertama, harta sengketa yang belum jelas kepemilikannya.
Wakaf semacam ini tidak diperbolehkan. Karena kepemilikan belum jelas.
Kedua, harta sengketa yang sudah jelas kepemilikannya
Harta semacam ini diistilahkan dengan al-Musya’. Misal, tanah atau rumah atau properti milik bersama semua ahli waris. Harta milik bersama ini disebut mal musya’.
Wakaf harta musya’ dibolehkan. Bahkan hal ini pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab ketika beliau memiliki jatah tanah di Khaibar.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
Umar bin Khatab memiliki saham 100 dari tanah Khaibar. Lalu beliau laporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar mengatakan,
أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ ، فَكَيْفَ تَأْمُرُنِى بِهِ
“Saya mendapat sebidang tanah, dimana tidak ada harta yang lebih berharga bagiku dari pada tanah itu. Apa yang anda sarankan untukku terhadap tanah itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran,
إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
“Jika mau, kamu bisa mempertahankan tanahnya dan kamu bersedekah dengan hasilnya.” (HR. Bukhari 2772)
Kemudian Umar mewakafkan tanah itu.
Hadis ini dalil, bolehnya wakaf harta musya’ (milik bersama).
Dalam Mawahib al-Jalil dinyatakan,
يجوز وقف العقار سواء كان شائعا كما لو وقف نصف داره أو غير شائع
Boleh melakukan wakaf tanah milik bersama, sebagaimana boleh wakaf setengah rumah atau tanah yang bukan milik bersama. (Mawahib al-Jalil, 7/626).
Keterangan lain disampaikan as-Sarkhasi,
ولو وقف نصف أرض أو نصف دار مشاعا على الفقراء فذلك جائز في قول أبي يوسف رحمه الله، لأن القسمة من تتمة القبض
Jika ada orang yang wakaf harta musya’, setengah tanahnya atau setengah rumahnya kepada orang fakir, hukumnya boleh, menurut pendapat Abu Yusuf rahimahullah. Karena pembagian merupakan penyempurna qabdh (serah terima).  (al-Mabsuth, 12/64).
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bolehkah menunda berubungan setelah nikah… misalnya nunggu sampai selesai kuliah, br rencana punya anak.. trim’s

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Setiap akad ada konsekuensi akad. Diantara konsekuensi akad nikah adalah mereka berdua menjadi suami istri. Sehingga halal bagi mereka untuk melakukan apapun sebagaimana layaknya suami istri. Namun bukan berarti setiap yang melakukan akad harus segera melakukan yang dihalalkan untuk suami istri. Boleh saja, mereka tunda sampai waktu tertentu atau sesuai yang dikehendaki pasangan suami istri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berusia 7 tahun. dan Beliau baru kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim 3546)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan beliau serumah denganku  pada saat usiaku 9 tahun.” (Muttafaqun ‘alaih).
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
(ومن استمهل منهما) أي ‏الزوجين ‏الآخر ‏‏(لزمه إمهاله ما) أي: مدة ‏‏(جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها ‏‏(كاليومين والثلاثة) طلبا ‏لليسر ‏والسهولة، ‏والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا ‏تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, seperti 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan acuan dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. karena tidak ada acuan baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).
Bisa juga kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق ‏عليه الزوجان
Syariat tidak menentukan batas waktu tertentu sebagai rentang antara akad dengan kumpul. Karena itu, acuan dalam rentang ini kembali kepada ‘urf (tradisi masyarakat) atau kesepakatan antara suami istri. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 263188)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page