Minggu, 28 Oktober 2012

Allah I berfirman dalam Surat An Nur:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah mertua mereka, atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita atau anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Sebagian ahlul ilmi seperti Asy-Sya’bi dan Ikrimah dari kalangan tabi’in berpendapat saudara laki-laki ayah (paman/al-’amm) dan saudara laki-laki ibu (paman/al-khal) tidak disebutkan dalam ayat di atas karena al-’amm dan al-khal terkadang menceritakan apa yang dilihatnya dari keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya (seperti keindahan tubuhnya atau kecantikan parasnya, pen.), sehingga keponakan perempuan ini tidak boleh melepas hijabnya di hadapan keduanya (Tafsir Ibnu Katsir, 5/400). Sehingga menurut Asy-Sya’bi dan Ikrimah, al-amm dan al-khal tidak termasuk mahram (karena tidak disebutkan di dalam ayat, pen.) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 12/155)
Namun jumhur ulama berpandangan, al-’amm dan al-khal termasuk mahramnya, keduanya sama dengan mahram yang lain dalam kebolehan memandang wanita yang merupakan mahramnya (dalam hal ini keponakan perempuannya, pen.) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 12/155).
Telah datang hadits yang mendukung pendapat jumhur ulama ini, yaitu hadits ‘Aisyah x yang dikeluarkan dalam Ash-Shahihain. ‘Aisyah x berkata:
“Datang paman susuku minta izin masuk menemuiku. Namun aku menolak untuk mengizinkannya sampai aku menanyakannya kepada Rasulullah r. Ketika datang Rasulullah r kutanyakan tentang hal itu kepada beliau. Beliau pun menjawab: “Dia pamanmu, maka izinkan dia menemuimu”.
“Wahai Rasulullah, yang menyusuiku itu wanita bukan laki-laki,” kataku.
Rasulullah r kembali mengatakan: “Dia pamanmu, maka biarkan dia masuk menemuimu.”
‘Aisyah berkata: “Kejadian itu setelah diperintahkannya hijab kepada kami.”  ‘Aisyah juga menyatakan: “Menjadi haram karena penyusuan apa yang haram karena kelahiran/nasab1.” (HR. Al-Bukhari no. 5239)
Dalam riwayat Muslim (no. 1445) disebutkan: “Datang Aflah, saudara Abul Qu’ais minta izin menemui ‘Aisyah setelah turunnya perintah hijab.
Sementara Abul Qu’ais ini ayah susu ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah sampai aku minta izin kepada Rasulullah r, karena bukan Abul Qu’ais yang menyusuiku tapi istrinya”. Ketika Rasulullah r datang ‘Aisyah pun menceritakan hal tersebut, beliaupun menyatakan: “Izinkan dia menemuimu.”
Keberadaan mahram karena susuan sama dengan mahram karena nasab sehingga bila paman susu diperkenankan masuk menemui keponakan perempuannya karena susuan dengan tanpa hijab maka tentunya yang demikian itu lebih dibolehkan bagi paman karena hubungan nasab baik paman itu saudara ayah (al-’amm) ataupun saudara ibu (al-khal).
(Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)



Pada edisi terdahulu kita telah ketahui bila seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya (ibu susu) terjalinlah hubungan mahram antara keduanya beserta pihak-pihak tertentu yang terkait dengan keduanya. Namun hubungan mahram tersebut tidak dapat terjalin bila tidak menetapi ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu  kapan/ pada usia berapa penyusuan itu terjadi dan berapa kali terjadinya penyusuan (kadar penyusuan).
Kapan Terjadinya Penyusuan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah x tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah r untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah r tersenyum dan berkata:
“Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)
Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah I:
“(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).”  (An-Nisa: 23)
Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri1 berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30).
Al-Hafidz Ibnu Katsir t menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)
Demikian pendapat  ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun.
Al-Imam Malik t berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui  anak tersebut setelah penyapihannya maka  tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”
‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib z pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)
Al-Imam At-Tirmidzi t menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi r dan selain mereka  adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang  anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)
Pendapat yang kedua ini berdalil dengan  firman Allah I:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”.
Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi r. Ketika beliau  r masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia   saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:
“Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.2” (HR. Al-Bukhari no. 5102  dan Muslim no. 1455)
Dalam hadits di atas Nabi r memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”
Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya,  berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)
Al-Imam Al-Khaththabi t berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini3 Nabi r seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179)
Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah x yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):
“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa no. hadits 2150)
Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim.4
Kadar Penyusuan
Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.
·    Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian  pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah I:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)
Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya.
Demikian pula hadits:
“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102  dan Muslim no. 1455)
tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan.
·    Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana  pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid,  Ibnul Mundzir dan  Abu Sulaiman, berdalil dengan  apa yang dipahami dari hadits:
“Tidak mengharamkan  (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
Ummul Fadhl x menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah r, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah r berkata:
“Tidak mengharamkan  (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)
·    Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah x yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Lihat Al-Umm, 5/26-27,  Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus  Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363)
Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”                                          dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi r:
“Tidak mengharamkan  (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”
dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Namun pada sabda Nabi r:
“Tidak mengharamkan  (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah x yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam.
Al-Imam Asy-Syafi‘i t berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan  Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang  tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab –pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.”
Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut  adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan (Al-Umm, 5/27). Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)
Ragu tentang jumlah penyusuan
Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah t: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara  keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)
Susu hewan
Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i t. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan  mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah I berfirman:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
(Al-Umm, 5/26)

1 Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat dua tahun enam bulan, Zufar yang berpendapat tiga tahun dan Al-Imam Malik dalam satu riwayat berpendapat dua tahun ditambah beberapa hari. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
2 Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.
3 Yaitu hadits:
4  Insya Allah akan dijelaskan.
5 Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst


Ada sebuah doa yang biasa dibaca oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Isi doa ini jika kita renungkan dalam-dalam ternyata sangat mencakup berbagai permintaan yang sangat kita perlukan. Sebab semuanya sering mewarnai kehidupan sehari-hari manusia. Coba perhatikan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau biasa berdo’a dengan do’a sebagai berikut; “Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, dan perbuatanku yang berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kemalasanku, kesengajaanku, kebodohanku, gelak tawaku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan dan dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan, Engkaulah yang mengajukan dan Engkaulah yang mengakhirkan, serta Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(HR Bukhari – Shahih)
Tema sentral di dalam doa ini adalah seorang hamba Allah subhaanahu wa ta’aala memohon ampunan-Nya. Setidaknya ada tigabelas poin yang diajukan hamba tersebut kepada Rabb-nya. Semuanya ia harapkan diampuni oleh Allah subhaanahu wa ta’aala:
Pertama, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku”. Kesalahan dapat mencakup perintah Allah yang dilalaikannya atau larangan Allah yang dilanggarnya.
Kedua, “Ya Allah, ampunilah kebodohanku”. Manusia tidak luput dari kebodohan. Tidak ada manusia yang memiliki pengetahuan sempurna. Dan kebodohan seseorang seringkali menyebabkan tingkahlaku yang tidak terpuji. Sehingga ia perlu memohon ampunan Allah subhaanahu wa ta’aala atas kebodohan dirinya.
Ketiga, “Ya Allah, ampunilah perbuatanku yang berlebihan dalam urusanku”. Terkadang kita mengerjakan suatu perbuatan secara tidak adil atau tidak proporsional. Perbuatan berlebihan tersebut sangat mungkin menyakiti hati bahkan menzalimi orang lain. Maka kita berharap ampunan Allah atas perbuatan berlebihan di dalam berbagai urusan.
Keempat, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku”. Manusia sering mengerjakan kesalahan tanpa ia menyadarinya. Orang lain boleh jadi dengan mudah melihat kesalahannya, tetapi ia sendiri tidak menyadarinya. Maka untuk urusan seperti ini seorang mukmin memohon ampunan Allah Yang Maha Tahu segala sesuatunya. Seorang mukmin mengakui jika Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan Dzat Yang Maha Tahu perkara yang ghaib  maupun nyata, maka iapun mengembalikan segenap dosa yang ia sendiri tidak ketahui kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia serahkan dosa jenis ini kepada Ke-Maha-Tahu-an Allah subhaanahu wa ta’aala. Sebab ia yakin bahwa Allah pasti jauh lebih mengetahui dosa yang dilakukan hamba-Nya daripada si hamba itu sendiri.
Kelima, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku”. Manusia bisa terlibat di dalam banyak kesalahan. Maka ia memohon kembali ampunan Allah atas kesalahannya padahal sebelumnya ia telah mengajukannya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala.
Keenam, “Ya Allah, ampunilah kemalasanku”. Kemalasan dapat menjadi musuh utama yang menyebabkan seseorang menunda bahkan melalaikan suatu kewajiban yang mestinya ia kerjakan. Pengakuannya di hadapan Allah bahwa dirinya terkadang dilanda kemalasan jelas mesti disertai dengan permohonan ampunan Allah atasnya.
Ketujuh, “Ya Allah, ampunilah kesengajaanku”. Harus diakui bahwa terkadang kita secara sengaja melakukan suatu kesalahan. Entah karena emosi, atau terpengaruh lingkungan atau berbagai alasan lainnya. Yang jelas, semua kesengajaan itu mesti kita istighfari, mesti kita mintakan ampunan Allah atasnya.
Kedelapan, “Ya Allah, ampunilah kebodohanku”. Subhaanallah, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengerti akan kelemahan kita yang satu ini. Manusia memang selalu kekurangan ilmu sehingga ia mustahil luput dari kebodohan. Sehingga permohonan ampunan Allah atas kebodohan diri perlu diajukan berulang-kali.
Kesembilan, “Ya Allah, ampunilah gelak tawaku yang semua itu ada pada diriku.” Apakah tertawa itu berdosa? Tentunya tidak. Tetapi bila dilakukan secara tidak proporsional ia akan mendatangkan masalah. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS At-Taubah 82)
Sementara itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian jarang  tertawa dan sering menangis.” (HR Tirmidzi  – Shahih)
Kesepuluh, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu”. Kita perlu berhati-hati terhadap dosa yang pernah kita lakukan di masa lalu. Sebab boleh jadi dosa tersebut belum sempat kita istighfari di waktu itu. Maka saat ini kita akui dan sesali di hadapan Allah subhaanahu wa ta’aala. Bahkan kita mohonkan ampunan Allah atasnya.
Kesebelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang mendatang”. Seorang mukmin sadar jika hidupnya bukan hanya terdiri atas masa lalu dan masa kini. Tetapi juga meliputi masa yang akan datang. Demikian pula dengan dosa yang dikerjakan. Ia tidak hanya terjadi di masa lalu dan masa kini semata. Tetapi tentunya sangat mungkin bisa terjadi di masa mendatang. Oleh karenanya dengan penuh kejujuran ia mengharapkan ampunan Allah atas dosa yang mendatang. Dan tentunya ini tidak boleh dilandasi niat buruk berrencana dengan sengaja berbuat dosa di masa mendatang.
Keduabelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang aku samarkan”. Seorang mukmin sangat khawatir dengan dosa yang ia lakukan sembunyi-sembunyi atau tersamar. Sebab ia teringat hadits sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikan kebaikan itu debu yang beterbangan.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah jika mereka berkhulwah (menyendiri).” (HR Ibnu Majah – Shahih)
Ketigabelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan”. Sedangkan terhadap dosa yang ia kerjakan secara tersamar saja ia sudah sangat khawatir, maka apalagi dosa yang dilakukan secara terbuka. Oleh karenanya ia sangat memohon ampunan Allah subhaanahu wa ta’aala atasnya.
Sungguh luar biasa, ketigabelas poin di atas jelas merupakan dosa dan kesalahan yang sangat sering kita lakukan. Betapa beruntungnya ummat Islam diajarkan oleh Nabi mereka suatu doa yang sungguh diperlukan.
Ya Allah, limpahkanlah sholawat dan salam kepada Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Amiin ya rabbal ‘aalamiin.

Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page